Working mom is strong—Fulltime
mom is great
Sekarang
adalah zamannya generasi millennial beraksi. Beraksi dalam meniti karier sampai
berimprovisasi dalam mendidik anak. Tak jarang, generasi millennial mampu menerobos
zaman dengan segudang kreativitasnya yang tak pernah terjamah oleh kaum
generasi X. Salah satunya cara memilih jalan hidup, khususnya para
wanita yang telah berstatus seorang ‘ibu’.
...
Aku
termasuk wanita millennial itu. Aku seorang guru SMA di salah satu sekolah
swasta di Makassar. Saat hamil, aku tidak merasa dibebankan dengan hidupku yang
terkesan aktif. kehamilan yang hingga memasuki bulan ke-sembilan pun rasanya
sah-sah saja menyetir sendirian. Belum lagi, mengajar fulltime di sekolah. Plus,
nyambi menuntaskan ujian akhir di kampus, adalah rutinitas yang memang
dikejar waktu. Harus dilakukan. Segalanya harus terselesaikan dengan baik
meskipun tetap memprioritaskan kesehatan calon bayi dalam perut. Alhamdulilah
hingga terlahir di dunia, si baby sehat meskipun harus masuk dalam inkubator
selama tujuh hari dan aku menjalani beberapa injure time yang
benar-benar bikin panik (akan aku bahas di konten berikutnya yaa). Serta gelar
magister yang kuraih 2 pekan pasca baby bala bala ku lahir di dunia. Dia
telah menjadi saksi melihat ibuknya dalam berjuang meraih gelar itu. hehehe.
...
Kedilemaan
belum mencuatkan taringnya kala itu. Namun, selepas masa cuti melahirkan tiga
bulan itu, wow.... dilema terus menerus mengikut ke mana pun langkah
pergi. Bagaimana tidak, aku harus berpisah selama hampir 10 jam dengan si baby
untuk kembali ke rutinitasku. aku pun terkena baby blues. Selama kerja,
aku kepikiran si baby di rumah. Sempat depresi dan kelelahan.
Dan
sampailah pada puncak saat aku harus berpikir matang-matang untuk mengakhiri
karierku dan menjadi full time mom atau tetap menjadi wanita karier yang
strong dengan perasaan yang sedikit menguras hati dan energi karena cemas
meninggalkan anak di rumah.
...
Qadarullah. Sembilan bulan berjalan. Segalanya berjalan seperti
biasanya. Aku tetap menjadi seorang guru di sekolah dan menjadi super mom di
rumah untuk Baby Muhammad Jinan. ^_^
Bagaimana
rasanya jadi Working Mom?
Rasanya?
Alhamdulilah. Segala Puji Bagi Allah. Aku yakin, Allah tidak pernah memilih
pundak yang salah untuk memberikan amanah kepada umatnya. Menjadi working
mom artinya kita harus mampu mengendalikan diri dan berkepribadian ganda.
Kapan harus menjadi karyawan yang professional, dan ada waktu pula kita harus
menjadi ibu yang super untuk anak kita di rumah. Kelelahan karena bekerja itu
SIRNA karena segala kewajiban dituntaskan dengan rasa sabar, syukur, dan
ikhlas. Terlebih lagi, wajah anak yang menyambut di teras rumah ketika pulang
bekerja, adalah pemulihan penat yang paling mujarab dan menimbulkan kesegaran.
Awalnya,
hal ini memang sangat berat. Namun, dukungan dari suami serta orang tua menjadi
penguat yang paling berjasa. Fortunately, aku memiliki suami yang tidak
neko-neko. Mau menjadi working mom ataupun full time mom, baginya
tak jadi masalah. Pak suami memberikan kebebasan memilih tersebut bukan tanpa
alasan.
Aku kerja
di dunia pendidikan. Mengajar dan mendidik adalah tugasku. Baginya, aku adalah
seorang guru yang insya allah tidak hanya mampu mendidik anak orang lain,
pastilah tentunya akan lihai pula dalam mendidik anak sendiri. Menurut Pak
Suami tercinta, aku seolah learning by doing. Mengajar itu mudah.
Tapi, Mendidik itu pekerjaan yang sulit, loh? Mendidik anak orang lain di
sekolah semacam sebagai les tambahan untuk menjadi ibu professional, kelak. Dan
memang iya, Aku sebagai guru SMA yang notebene peserta didik sudah berada pada
tahap adolsentia alias fase remaja-yang-sementara-bertransisi-ke-dewasa. Ini
‘kan jadi peluang besar untukku belajar menghadapi Jinan yang baru menginjak
usia 9 bulan sekarang dan akan beranjak dewasa enam belas tahun ke depan ‘kan?
...
Tidak
sedikit sang working mom yang paranoid dengan hidup yang dijalaninya
saat ini. Justifikasi dari fulltime mom tidak jarang pula menyudutkan.
Padahal, aku yakin, semua ibu memiliki pertimbangan dalam menentukan statusnya
untuk menjadi working mom atau fulltime mom. Sayangnya,
orang-orang yang sering menjustifikasi jalan hidup yang kita jalani itu SALAH.
Teranglah, orang-orang seperti itu memiliki pola pikir yang acakadut, merasa
benar, seolah menasihati tapi jatuhnya malah menyudutkan.
Siapa
bilang working mom itu egois dan tidak maksimal dalam mengurus dan
mendidik anak? Semua ibu di dunia ini pasti akan melakukan hal terbaik untuk
anaknya.
Siapa
bilang full time mom itu bersantai-santai saja di rumah? Siapa
bilang fulltime mom itu jam tidurnya lebih banyak dari working
mom? Full time mom mengorbankan segala waktunya untuk sang buah hati
dan terkadang malah lupa makan seharian, mandi apalagi. Jadi, tidak ada alasan
kita menjastifikasi bahwa mereka selonjoran saja di rumah.
Belum ada
penelitian yang bisa membuktikan itu, Geng. ^_
...
Jika status
“Ibu” telah disandang oleh seorang wanita, maka 24 jam itu adalah jam kerjanya.
Entah dia berstatus working mom atau fulltime mom.
Belum tentu
sang fulltime mom memiliki keandalan lebih baik dalam mengurus anak
dibandingkan working mom. Belum tentu pula sang working mom tidak
lebih care dibanding sang full time mom.
Kalau
ditanya pada diriku sendiri. Apakah aku sudah menjadi sang working mom
yang professional? Apakah aku sudah berlaku seimbang antara di rumah dan di
kantor?
Aku yakin
bisa memenuhi indikator profesional itu. Optimis dan berusaha itu WAJIB ^_^.
Lagi-lagi, hidupku selalu berpatok pada Learning By Doing. Hidup adalah
perjuangan. Berjuang untuk belajar terus-menerus agar menjadi ibu yang baik
untuk anakku dan juga anak orang lain di sekolah. Selepas mengajar, aku kembali
ke rumah dan berubah wujud menjadi ibu untuk anakku. Kulucuti segala beban dan
letih di depan pagar, lalu masuk ke rumah dengan membawa aura bahagia untuk
anakku. Tak lantas beristirahat, menemaninya bermain di sore hari, memandikan,
menyuapi, hingga menidurkannya tetap aku geluti.
Kalau semua
wanita memang ditakdirkan untuk berdiam diri di rumah, lah, siapa yang
akan menjadi ibu guru di sekolah? Siapa yang akan menjadi bidan membantu proses
lahiran? Siapa yang akan menjual sayur di pasar? Siapa yang akan menjadi
pramugari? Siapa yang akan menjadi Mamah Dedeh?
...
Sedihnya,
kecaman dari orang lain yang selalu menganggap working mom itu sebuah
kefatalan adalah sebuah hal impulsif.
Katanya,
anak jadi kehilangan kasih sayang nantinya. Katanya, Anak jadi tidak terurus.
Katanya, ibunya pengen eksis mulu. Katanya, Anak kehilangan sosok ibu. Katanya,
ibu harus jadi madrasah pertama anak-anaknya. Pernyataan terakhir itu, jelas
aku setuju banget banget. Dan say no, dengan pandangan-pandangan yang
selalu berdiri di atas kata “katanya” itu.
Aku telah
menjadi saksi bahwa seorang working mom tidak SEFATAL yang dibayangkan.
Tak perlu separanoid itu, Geng.
Aku hidup
dari keluarga sederhana. Ayahku baru saja pensiun. Ibuku masih berstatus guru
di sekolah negeri di Makassar. Artinya, aku hidup dan dibesarkan oleh kedua
orang tua yang berkarier. Karier mereka menuntut untuk tidak terus-terusan di
rumah. Jelas, ibu ku adalah working mom, kan? Pertanyaannya, apakah
kakak, adik, dan aku kehilangan kasih sayang? Apa kami menjadi nakal sampai
harus nge-drugs ? Apa kami jadi pembangkang dan bertabiat buruk?
Rasanya, tidak sama sekali.
Kami malah
digenangi cinta yang hebat. Kemandirian ditanamkan di diri kami sejak kecil,
buka berarti dicuekin begitu saja. Malah, kata “manja” jauh sekali dari kami. Tidak
jarang kami diajak ke sekolah. Sementara ibu bekerja, kami duduk manis membaca
buku di perpustakaan. Kami mengenal banyak orang dan kami bukan anak anti
sosial.
Kakakku
seorang laki-laki. Usianya lebih tua dua tahun dariku. Sejak sekolah, dia hobi nge-break
dance dan kini dia menjadi aktor teater bahkan menjadi asisten sutradara.
Adikku, seorang mahasiswa akademi pariwisata yang suka sekali naik gunung.
Watak mereka jauh dari pribadi yang terkesan kekurangan kasih sayang. Mereka
malah menjadi pemuda aktif dan positif. Dan aku, tumbuh menjadi seorang wanita
yang insya Allah tangguh, seperti ibuku.
...
So, Kita
tidak bisa mengukur sepatu orang lain di kaki kita. Aku yakin setiap pilihan
hidup yang kini kita dan orang lain jalani adalah hasil istikharah terbaik yang
ditetapkan Allah untuk kita. Menghargai keputusan apapun yang dilakukan oleh
setiap ibu adalah bentuk empati dan dukungan untuk sama-sama berjuang dalam
mendidik tanpa gap apapun. Bisa jadi, sang working mom saat ini,
dua tiga tahun bahkan esok hari membanting setir menjadi fulltime mom.
Tidak menutup kemungkinan pula, seorang fulltime mom akan esok lusa akan
menjadi pejabat penting di sebuah perusahaan.
...
Dari beberapa seminar parenting yang
aku datangi, pertanyaan yang berkaitan dengan working mom pun selalu aku gemakan di ruang seminar tersebut.
Berikut inisiasi yang bisa diterapkan working
mom untuk menjadi seorang ibu yang professional di tengah kesibukan karier
dan bisa meningkatkan hubungan yang lebih berkualitas dengan sang buah hati.
1. Berubah Wujud
Pekerjaan di kantor mungkin membuat kepala kita puyeng dan tidak jarang
menimbulkan emosi yang tidak stabil akibat kelelahan. Kita perlu
menggarisbawahi bahwa menjadi working mom
sudah menjadi keputusan kita. Setelah kembali ke rumah, kita harus berubah
wujud. Menanggal segala profesi dan jabatan apapun di kantor. Kita kembali ke
rumah dengan meyimpan topeng kita sebagai wanita karier, berdiam diri sejenak
untuk berubah wujud. Saat sampai di rumah, kita melangkahkan kaki memasuki
rumah sebagai Ibu yang begitu berharga untuk anak kita. Berikan senyum terbaik
untuknya, respon segala ujarannya, suapi dengan penuh cinta, serta menjadi
teman sepermainannya yang paling asyik.
2. Mengatur Quality
Time
Quality time merupakan waktu ‘yang lain daripada yang lain’. Waktu
berkualitas dengan anak tidak melulu harus bepergian keluar rumah seperti ke mall, berbelanja sesuka hati, atau
keluar kota. Quality time di sini
adalah waktu untuk kita lebih mendekatkan bonding
dengan anak tercinta kita. Weekend
salah satu waktu yang efisien untuk working
mom mengatur quality time.
Berlama-lamaan di tempat tidur, saling berpelukan, atau sambil
menyugestikan padanya untuk menjadi anak yang soleh/solehah, anak cerdas, dan
doa-doa terbaik untuknya juga merupakanquality time yang simpel khaaan?
Memandikan dan berlama-lamaan bermain air sambil bernyanyi dan selipkan
lagi edukasi-edukasi dan doa untuknya juga quality
time yang efektif digunakan.
Membacakan buku cerita sebelum tidur juga merupakan opsi yang tidak
hanya meningkatkan kedekatan kita pada anak, tetapi juga menstimulus aspek
berbahasanya.
Intinya adalah quality time bisa dilakukan di mana dan dalam kegiatan
apa pun, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menghadirkan jiwa kita pada
hati anak. Sehingga ia memahami bahwa ibunya, yaaa tetap ibunya, yang kodratnya
mengasuh dia dengan penuh cinta.
3 Meminimalisasi Pemakaian Gawai
Gawai atau dikenal dengan gadget
menjadi momok yang sulit dilepaskan dari setiap orang. Tidak terkecuali pada working mom. Lalu lintas komunikasi
berjalan dengan satu genggaman saja menjadikan working mom setiap saat harus melongok ke gawai. Pemakaian gawai di
rumah dapat menghambat komunikasi dengan anak. Notifikasi di gawai dapat
disenyapkan dan diatur berbunyi pada panggilan-panggilan tertentu saja.
Sebenarnya hal ini terlihat mudah, tetapi tak semudah penerapannnya. Aku
pun demikian, jika anak sudah tertidur, aku malah bergegas mengambil HP dan
mengecek semua chatting-an di grup
W.A dan akhirnya kebablasan untuk berselancar di media sosial lainnya.
Akhirnya, anak tertidur dengan pulasnya tanpa belaian dan ciuman kening. Dampaknya,
hal tersebut menjadi kebiasaan buruk atau bad
habit yang terus-menerus dilakukan tanpa adanya rasa bersalah karena
dianggap tidak menimbulkan dampak apapun. Padahal, hal tersebut merupakan
kefatalan.
4. Biarkan anggaran RT sedikit membengkak
Terkadang weekend untuk working mom dimanfaatkan untuk mengurus
urusan rumah tangga lainnya, seperti mencuci baju, membersihkan rumah, bahkan
memasak. Demi menginvestasikan ilmu kedekatan kita pada anak, tak ada salahnya
menggembungkan anggaran rumah tangga pada hal-hal yang tidak kalah urgensinya.
Menggunakan jasa ART atau home cleaning, memasukkan
baju-baju kotor di Laundry, dan
membeli makanan merupakan cara untuk memaksimalkan bonding kita pada buah hati. Pekerjaan yang menumpuk malah biasanya
menambah beban kerja sehingga berdampak pada mood kita yang tidak stabil. Oleh karena itu, jika kita tipikal working mom yang berhemat untuk
kepentingan lainnya, hindari menumpuk pekerjaan dan bergegas menyelesaikan
pekerjaan tersebut dalam satu waktu.
Sesungguhnya, segala inisiasi tersebut masih sebagai proses untuk menjadi 'ibu bekerja yang baik'. Tak ada ibu yang sempurna, kecuali dia yang terus-menerus belajar dan rendah hati untuk berjuang menjadi ideal. Semoga bermanfaat.
Sesungguhnya, segala inisiasi tersebut masih sebagai proses untuk menjadi 'ibu bekerja yang baik'. Tak ada ibu yang sempurna, kecuali dia yang terus-menerus belajar dan rendah hati untuk berjuang menjadi ideal. Semoga bermanfaat.
Keren,,,😘😘
BalasHapusSemgat untuk menjadi ibu dan guru yang baik,,,
terima kasih sudah diapresiasi :)
HapusTetap semangat sebagai ibu ya buk...bagus tulisannya
BalasHapusterima kasih apresiasinya, Mba. masih belajar :)
HapusKereeennn. Kamu punya dua telinga untuk mendengar perkataan buruk orang lain, tetapi kamu juga punya dua tangan untuk menutup telinga agar tidak mendengar hal-hal buruk tersebut. Tetap semangat. Nanti hasilnya yang akan buat orang lain tidak lagi berkomentar yang macam-macam. Sabar kuncinya Mommy Anti ❤️
BalasHapusLuv
HapusTulisannya sangat menginspirasi.sedikit mengusir kegundahan sy sbg org se profesi dgn penulis....makasih atas ilmunya moms ������
BalasHapus